Rabu, 20 Oktober 2021

SHOLAWAT AL HINDI (ijazah gratis)

IJAZAH UMUM SHOLAWAT AL HINDI SPECIAL MAWLID

Assalaamu'alaikum wr.wb 
Bagaimana kabar saudaraku semua, semoga sehat selalu sekeluarga. 
Kali ini saya ijazahkan salah satu Sholawat karangan Syeikh al Hindi yang mana konon beliau mendapatkan sholawat ini lewat mimpi diajari langsung oleh Rasulullah S.A.W. 

اَللَّهمَّ صلِّي وَ سلِّمْ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آل سَيِّدِنَا 
مُحَمَّدٍ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَ نَفْسٍ بِعَدَدِ كلّ مَعْلُوْمِلَكَ

ALLAHUMMA SHOLLI WA SALLIM 'ALA SAYYIDINA MUHAMMADIN WA 'ALA AALI SAYYIDINA MUHAMMADIN FII KULLI LAM LAM HATIW WA NAFSIN BI 'ADADI KULLI MA'LUMILAK

Sholawat ini sekilas mirip Sholawat nariyah namun sholawat ini bagus sekali manfaatnya terutama bagi yang masih menuntut ilmu sehingga mudah mendapatkan ilham atau petunjuk. 
Barangsiapa istiqomah membaca sholawat ini maka bi'idznillah ia akan mendapatkan ilmu dan rahasianya. Dan jika ia wafat maka akan diwafatkan dalam ke adaan husnul khotimah.

Untuk tawasul silahkan amalkan Tawasul Karomah Kubro yg sudah terbukti asrornya ditambah Syeikh al Hindi.

Demikianlah, ijazah selesai 

Senin, 18 Oktober 2021

MAULID NABI 1443 H

SELAMAT MEMPERINGATI HARI KELAHIRAN BAGINDA NABI MUHAMMAD SAW 12 Rabiul Awwal 1443

Tiada hari yang indah selain maulid dan mengingat tauladan Nabi Muhammad SAW 
Semoga dengan momentum maulid ini kita semakin istiqomah menjalankan sunnah Rasulullah S.A.W

Jumat, 15 Oktober 2021

KISAH SEORANG PASTUR DIDATANGI NABI KHIDIR A.S


KISAH SEORANG PASTUR DIDATANGI NABI KHIDIR AS

- Manaqib Guru Sekumpul Syekh Muhammad Zaini Ghoni Al Banjari -

Saya (Hendra, 40 tahun) sejak kecil dididik dalam ajaran Kristen yang ketat. Bahkan oleh orangtua saya, saya disekolahkan hingga ke Vatikan. Sekian lama akhirnya saya pun menyandang predikat sebagai Pastur. Saya juga memperoleh kepercayaan untuk menggembala umat di sebuah gereja di Banjarbaru Kalimantan, tepatnya seberang Unlam Banjarbaru. 

Sekitar tahun 2000 an,  saya bersama rekan pastur lainnya berniat untuk rekreasi, mengisi liburan akhir pekan. Tujuan kami adalah ke Pantai Takisung, Tala. Dengan menggunakan bus pinjaman dari gereja di Banjarmasin, kami pun berangkat. Di pantai, kami mendirikan tenda. Sebagaimana kebiasaan, sebagai seorang pastur, saya memperoleh tenda sendiri, jadi tidak ada teman dalam tenda saya. Sementara anggota rombongan lainnya, berdesakan di tiga tenda lainnya.
 
Malam itu, sebelum tengah malam, kami pun masuk kemah dan terlelap. Dan pada tengah malamnya, saya terbangun karena saya mendengar ucapan salam dari seseorang dari luar tenda saya. 

"Assalamu'alaikum," kata orang asing itu. Salam itu diulang lagi sambil menepuk - nepuk tenda saya. 

Penasaran, saya pun bangkit dan keluar dari kemah. Karena saya Kristen, saya tak menyahut salam tersebut. Saya lalu mengampiri seorang kakek yang belum pernah saya kenal. Ia memakai jubah berwarna hijau dan bolang juga berwarna hijau, janggutnya hitam namun ada kombinasi putih di bagian ujungnya. Saya lalu menyalami tangannya. Aneh, kehalusan tangan kakek itu rasanya lebih halus dari kain sutra sekalipun. Dan pada bagian jempol kanan kakek itu seperti tidak bertulang. 

"Kenapa jempol kakek seperti tidak bertulang," tanya saya.

"Oh.. ini akibat kecelakaan, tapi nanti saja saya ceritakan," kata kakek itu. 

"Ada apa kakek, ada keperluan apa," tanya saya. 

"Saya hanya menyampaikan, bahwa sudah saatnya kamu berpindah dari agamamu ke Islam, seperti agama kakek," Sahut kakek misterius itu. 

Saya lihat sekeliling, tak ada seorang pun dari kawan - kawan saya yang terbangun dari dalam kemah lainnya. 

"Saya tidak bisa kek, karena sudah delapan turunan kami adalah penganut Kristen yang taat," jawab saya. 

"Tidak, memang sudah saatnya kamu mengikuti agama yang benar, yakni Islam. Sebab sejak dalam perut ibumu, di dahimu sudah dituliskan Allah asma-Nya," tegas kakek tersebut. 

Saya lantas berpikir cepat. "Kalau memang kakek benar, apa kakek bisa menunjukkan mu'jizat sebagai tanda kebenaran dari Tuhan," pancing saya. 

"Kalau itu soal gampang," kata kakek itu sambil tertawa.

Entah bagaimana, tiba - tiba dari genggaman kakek itu muncul sebuah gelas kecil lagi bening. "Zam-zam, ambil air Zam-zam itu," Perintah kakek itu kepada saya sambil menyodorkan gelas dan menunjuk ke laut.
 
Mengertilah saya kalau saya mesti mengambil air laut itu. Kakek itu menyuruh saya minum tiga tegukan. Anehnya, kala minum tidak asin, melainkan tawar. Baru saja selesai tegukan ketiga, tiba - tiba saya merasakan gatal yang sangat hebat. Saya sadari rasa gatal itu berasal dari jubah pastur, salib dan perlengkapan yang saya kenakan kala itu. Seketika itu juga melepaskan atribut kepasturan saya. Begitu sudah lepas semua, tinggal celana dan sepatu, barulah rasa gatal yang hebat itu hilang. Rasanya seperti digigit semut gatal yang sangat banyak. Mulai saat itu, mulai ada rasa takjub kepada kakek tersebut. 

"Siapa nama kakek, dan di mana kakek tinggal," tanya saya. 

"Nanti kamu juga tahu dengan sendirinya siapa saya. Adapun tempat saya di sana," Kata kakek itu sambil menunjuk ke arah laut, yang di kejauhan saya lihat seperti ada lampu kelap - kelip.
 
Namun anehnya saat itu, seperti ada jalan dari tempat kami berdiri ke arah tempat yang ditunjuk kakek tersebut. Kami lalu berjalan menyusuri jalan tersebut. Namun, di tengah perjalanan, kakek itu menghentikan langkahnya. "Belum saatnya kamu memasuki kediamanku, karena kamu masih belum suci. Kamu mesti beragama seperti agama kakek," kata kakek tersebut yang pembawaannya tenang dan berwibawa. Seketika saja kakek tersebut menghilang. 

Belum sempat saya berpikir banyak, tiba - tiba sebuah ombak menghantam muka saya, dan seketika saya tersadar rupanya saya sudah ada di air laut.

Saya lalu bergegas keluar air menuju pantai. Sekali lagi aneh, yang basah cuma muka saya, sedang celana dan sepatu saya masih kering seperti semula. 

Dengan masih terheran - heran, saya memandang ke arah laut. Seiring waktu, saya pun masuk ke dalam tenda dan merebahkan diri dan akhirnya tertidur. Pukul enam pagi, saya bangun dari pembaringan dan ingin melihat keadaan pantai di mana saya tadi malam bersama seorang kakek misterius terlibat dialog yang masih segar diingatan. Saya perhatikan, memang masih ada jejak sepatu saya di pantai. Bahkan, meski ombak beberapa kali menghantam pantai, jejak kaki saya masih ada. Saya kenal betul bagaimana tapak sepatu yang saya pakai.

Sepulang dari Takisung itu lah, pikirannya saya mulai berkecamuk. Keimanan saya kepada ajaran Kristen sedikit demi sedikit mulai luntur. 

Lama saya di tengah berkecamuknya pikiran, apakah akan pindah agama atau tetap dalam kepercayaan lama, bahkan saat itu saya sempat terlibat dalam perang Sampit, saya (Hendra) kebetulan punya kenalan yang masih keluarga dari Guru Rosyad. Dari sini saya punya keinginan untuk mempelajari Islam sedikit demi sedikit. Namun, oleh karena Guru Rosyad sakit - sakitan, beliau menyarankan agar saya masuk Islam dengan bimbingan Abah Guru Sekumpul. 

Maka dengan diantar oleh Guru Rosyad dan menantunya, saya menghadap Abah Guru Sekumpul, di rumah beliau di Sekumpul, sekitar tahun 2001. 

Begitu melihat saya, Abah Guru Sekumpul berkata, "Masih saja kah mencium secara tajam?" 

Saya sungguh kaget, karena beliau langsung tahu kalau saya bisa mencium bau suku tertentu.

"Inggih," kata saya. 

"Ibarat kebun binatang, perut kamu berkumpul banyak binatang," lanjut Abah Guru Sekumpul. 

Dan memang, karena saya bersuku Dayak, dan masih bercampur dengan kepercayaan Kaharingan, Ajian atau Untalan apa saja, sudah pernah masuk ke dalam perut saya.

"Kalau ingin ber Islam, kamu mesti dibersihkan dahulu," kata Abah Guru Sekumpul. 

Saya manut saja, ketika beliau menyuruh saya mengambil air minum di dapur. Kemudian beliau menyuruh saya meminum air tersebut dan beliau lalu menepuk pundak saya. Seketika saya merasa mulas dan muntah - muntah. Ada banyak kotoran hitam yang keluar dari mulut saya, sekira - kira satu mangkok ukuran sedang. 

Setelah beliau merasa sudah habis semua yang jelek - jelek dalam perut saya, kemudian beliau menyuruh saya berwudhu dan kemudian diislamkan dengan cara dituntun oleh beliau dua kalimat syahadat, yang saya ikuti dengan pelan : 

"ASYHADU AN LAA ILAHA ILLALLOH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ROSULULLOH," ucap saya mengikuti. 

Begitu selesai pengucapan dan disahkan oleh hadirin, plong lah sudah rasa di hati. Selesai acara pengislaman saya, saya kembali bercengkrama dengan Abah Guru Sekumpul. 

Saat itulah saya memaparkan kisah lama saya di Pantai Takisung. Beliau sepertinya sudah mafhum. 

"Tahu kah kamu Nak, yang menemui kamu di Pantai Takisung itu ialah Nabi Khidr AS. Beliau itulah yang menguasai lautan maupun perairan. Apakah kamu ingin berjumpa kembali dengan beliau?" terang sekaligus tawar Abah Guru Sekumpul. 

"Inggih," jawab saya singkat.

Beliau lalu menyuruh saya mengambil air dalam baskom dari dapur. Beliau kemudian menyuruh saya bertawasul ke Nabi Khidir AS, bersholawat, serta menepuk air di baskom itu tiga kali. 
Ajaib, sekonyong - konyong keluarlah kakek seperti yang pernah saya lihat di Pantai Takisung. Kakek yang adalah Nabi Khidir itu muncul sepinggang dari permukaan air baskom. Saya cuma kagum tak bisa bicara. Abah Guru Sekumpul saya lihat menunduk dan mengangguk tiga kali. Sekejap kemudian, Nabi Khidr sudah menghilang. 

"Nak, tadi beliau berpesan agar kamu benar - benar dalam beragama (Islam). Ibarat sekarang sudah diberi lembaran kertas putih, jangan sampai dibikin kotor lagi," kata Abah Guru Sekumpul. 

Saya (Hendra) mengingat betul pesan Nabi Khidir AS yang disampaikan melalui Abah Guru Sekumpul. Abah juga menyampaikan nasihat tambahan. "Nak, bila kamu sudah Islam kemudian menjadi kaya raya, berarti Islam kamu tidak lah benar-benar. Namun, jika nanti kehidupanmu sulit dan susah, maka berarti kamu sudah beragama dengan benar. Sebab Allah berkehendak menguji keikhlasan kamu mengikut agama yang haq ini," papar Abah Guru Sekumpul. 

Saya hanya bisa menganggukkan kepala seraya berkata, "Inggih Abah." 

Beliau kemudian berdo'a memohon kepada Allah semoga saya ditetapkan iman dan selamat dunia wal akhirat untuk bisa berkumpul dengan beliau kembali di akhirat. Saya merinding jika mengingat peristiwa itu. 

Perlu diketahui bahwa selama saya menjadi pastur di gereja di Banjarbaru itu, kehidupan saya begitu menyenangkan, tak ada kesusahan. Tiap kali mau belanja atau apa saja, tinggal ambil duit di kas gereja. Pokoknya, sumbangan dari gereja yang lebih tinggi, dari Vatikan dan sumbangan jema'at begitu banyak, saya tak pernah kekurangan uang, bahkan berlebih.

Namun setelah saya masuk Islam, kehidupan yang susah pun langsung saya temui. Namun, untunglah, keluarga Guru Rosyad terkadang memanfaatkan jasa saya menyetirkan mobil keluarga mereka, misal pergi ke undangan acara Maulidan dan pengajian lainnya. 

Pernah ada pengalaman aneh atau yang bisa disebut karamah Abah Guru Sekumpul. Kami rombongan malam - malam baru saja pulang dari Madurejo di salah satu kecamatan di Kabupaten Banjar. Pada tengah malam saya menyetir mobil membawa rombongan keluarga Guru Rosyad, sementara Abah Guru dan rombongan lainnya di mobil lain di belakang kami. 

Begitu tiba di kawasan Astambul, mobil yang saya setir tiba - tiba mogok. Sadarlah saya kalau mobil sudah kehabisan bensin. Tengah malam itu sudah tidak ada lagi kios bensin yang buka. Tak berapa lama, tiba lah mobil di belakang yang membawa Abah Guru Sekumpul. Beliau keluar mobil.

"Ada apa Nak," tanya beliau. 

"Kehabisan bensin Abah," ujar saya.

"Coba cari ember," perintah beliau. 

Saya pun mencoba mencari ember. Kebetulan di sisi jalan lain ada truk terparkir dan ada sopirnya. Saya tanya apakah punya ember dan syukurlah si sopir truk punya ember. Saya pinjam dan saya bawa ke hadapan Abah Guru Sekumpul.

"Ambil air ke sungai," Perintah beliau. 

Saya pun turun ke sungai di bawah jembatan Astambul mengambil air.

"Masukkan air itu ke tangki bensin," perintah beliau lagi. 

Meski agak bingung saya turuti saja perintah beliau. 

"Masih kurang ?" tanya beliau. 

Saya cuma mengangguk. 

"Tambahi lagi dua ember," tendas beliau. 

Setelah semua air dimasukkan, saya diperintah menstarter mobil dan ajaib, mesin mobil hidup, dan penunjuk (indikator) bensin menunjukkan tanda full. Rombongan pun melanjutkan perjalanan. Sebelumnya, Abah Guru Sekumpul berpesan, jika sudah sampai ke rumah, buang kembali air dari tangki. 

Kelebihan Abah Guru Sekumpul lainnya yang saya temui langsung, yaitu pernah saya lagi sakit dan mesti berobat ke dokter, namun tak punya duit. Saya lantas melapor ke kediaman Abah Guru Sekumpul. Saya ditemani seorang teman. Setelah dipersilakan penjaga regol saya masuk. Abah Guru Sekumpul keluar dari dalam rumah terlihat tergesa - gesa sambil memakai sarung. 

"Kenapa Nak, ada masalah apa," tanya beliau penuh kasih sayang. 

Saya pun mengisahkan kesulitan akibat sakit namun tak punya duit. Beliau dengan sigap merogoh buntalan sarung dan mengambil sesuatu. 

"Nah ini Nak, untuk berobat," ucap beliau. 

Saya mengucap terima kasih, mengecup tangan beliau dan permisi. Namun, berjalan keluar rumah beliau itu dengan hati bertanya - tanya. Teman saya bilang ada yang aneh, karena waktu masuk rumah, tampak sekali Abah Guru Sekumpul memakai sarung dan mustahil sempat memasukkan uang ke buntalan sarung. Ketika sampai ke dokter saya berobat, periksa dan menebus obat. Sekali lagi ajaib, uang yang diminta dokter maupun apoteker, totalnya pas Rp 250 ribu, sejumlah uang yang dikasih Abah Guru Sekumpul. 

Pernah saya meminta uang ke paman saya yang adalah pendeta terhormat di gereja Banjarmasin, namun karena dia tahu kalau saya sudah Muslim, saya malah dihardik. Bahkan bukan uang yang saya terima, melainkan hantaman gelas ke pelipis kanan, hingga sobek dan mengucurkan darah. Saya pulang dan mengadu ke Abah Guru Sekumpul. Beliau mengingatkan agar saya tak usah dendam. 

"Rasulullah sering dianiaya, dihina dan dicaci oleh umatnya yang belum beriman, namun Rasulullah tetap sabar, tak dendam bahkan beliau mendo'akan agar orang tadi mendapat hidayah dari Allah," nasihat beliau.

Itulah kenangan saya (Hendra) bersama Abah Guru Sekumpul.

Kisah dari seorang mantan Pastur, sebut saja Hendra (40).

Robbi fanfa'na bibarkatihim..
Wahdinal khusna bikhurmatihim..

Wa amitna fi thoriiqotihim..
Wa muafa'ti minal fitani..

Kamis, 07 Oktober 2021

MANAQIB SAYYID SULAIMAN, MBÈTÉK, MOJOAGUNG, JOMBANG

MANAQIB SAYYID SULAIMAN , MBÈTÉK, MOJOAGUNG, JOMBANG 

Sekitar pertengahan abad ke-16 Masehi tersebutlah seorang pemuda gagah berdarah Arab di tepi barat pulau Jawa, Cirebon. Selama beberapa bulan ia berlayar dari kampung halamannya di negara Yaman. Saat itu memang sedang gencar-gencarnya orang-orang Arab berimigrasi ke tanah Jawa. Dan salah satunya adalah kakek Mbah Sayid Sulaiman, tokoh yang disebut di awal tulisan ini.
Orang-orang Arab ini datang dengan maksud bermacam-macam. Ada yang berdakwah untuk menyebarkan agama Islam, ada pula yang berniaga seraya berdakwah. Pemuda itu bernama Abdurrahman. Ia adalah seorang Sayid keturunan Rasulullah yang bergelar Basyaiban. Basyaiban adalah gelar warga habib keturunan Sayid Abu Bakar Syaiban, seorang ulama terkemuka di Tarim, Hadramaut, yang terkenal alim dan sakti.

makam sayyid sulaiman betek mojoagung jombang

Sayid Abu Bakar mendapat julukan Syaiban (yang beruban) karena ada kisah unik dibalik julukannya itu. Suatu ketika, Sayid Abu Bakar yang saat itu masih tergolong muda menghilang. Sejak itu ia tidak muncul-muncul. Konon, ia uzlah untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Baru setelah sekitar tiga puluh tahun, Sayid Abu Bakar muncul di Tarim. Ia tetap tampak muda. Tapi aneh, rambutnya putih, tak selembar pun yang hitam. Ia seperti berambut salju. Sejak itulah orang-orang menjulukinya Syaiban (yang beruban).

Abdurrahman masih tergolong cicit dari Sayid Abu Bakar Basyaiban. Ia putra sulung Sayid Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Basyaiban. Lahir pada abad 16 Masehi di Tarim, Yaman bagian selatan, perkampungan sejuk di Hadramaut yang masyhur sebagai gudang para wali.

Dalam masa perantauannya ke Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa, Sayid Abdurrahman memilih bertempat tinggal di Cirebon, Jawa Barat. Beberapa waktu kemudian, ia mempersunting putri Maulana Sultan Hasanuddin (?-1570 M). Putri bangsawan itu juga masih keturunan Rasulullah. Ia bernama Syarifah Khadijah, cucu Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dari pasangan dua keturunan Rasulullah ini, lahir tiga orang putra: Sayid Sulaiman, Sayid Abdurrahim (terkenal dengan sebutan Mbah Arif Segoropuro Pasuruan), dan Sayid Abdul Karim.

Mewarisi ketekunan leluhurnya dalam berdakwah, keluarga ini berjuang keras menyebarkan Islam di Jawa, tak jauh dengan apa yang telah dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, di Cirebon. Pengaruh dan ketekunan mereka dalam berdakwah membuat penjajah Belanda khawatir. Maka ketika menginjak dewasa, Sayid Sulaiman dibuang oleh mereka. Putra sulung Sayid Abdurrahman ini, kemudian tinggal di Krapyak, Pekalongan, Jawa Tengah. Di Pekalongan, beliau menikah dan mempunyai beberapa orang putra. Empat di antaranya laki-laki, yaitu Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir, dan Ali Akbar.

Dari Pekalongan Sayid Sulaiman berkelana lagi. Kali ini, Solo (Surakarta) menjadi tempat tujuan. Selama tinggal di Solo beliau terkenal sakti. Kesaktiannya yang sudah masyhur itu mengundang rasa iri seorang Raja dari Mataram. Sang Raja ingin membuktikan kesaktian Sayid. Maka diundanglah Sayid ke keraton.

Saat itu di istana sedang berlangsung pesta pernikahan putri bungsu sang Raja. Sayid Sulaiman dipanggil menghadap. Untuk memeriahkan pesta pernikahan putri bungsunya ini, Raja meminta agar Sayid memperagakan pertunjukan yang tak pernah diperagakan oleh siapapun.
“Sulaiman, anda ini orang sakti. Kalau benar-benar sakti, saya minta tolong buatkan pertunjukan yang tidak umum, yang belum pernah disaksikan oleh orang-orang sini,” pinta Raja Mataram kepada Sayid dengan nada menghina.

Mendengar permintaan Raja yang sinis itu, Sayid meminta pada Raja untuk meletakkan bambu di alas meja, sembari berpesan untuk ditunggu. Sayid Sulaiman lalu pergi ke arah timur. Masyarakat sekitar keraton menunggu kedatangan Sayid demikian lama, namun Sayid belum juga datang. Raja Mataram hilang kesabaran. la marah. la membanting bambu di alas meja itu hingga hancur berkeping-keping. Sesuatu yang ajaib terjadi, kepingan bambu-bambu itu menjelma menjadi hewan yang bermacam-macam. Raja Mataram tersentak melihat keajaiban ini, barulah ia mengakui kesaktian Sayid Sulaiman.

Raja Mataram kemudian menitahkan beberapa prajuritnya untuk mencari Sayid Sulaiman. Sedang hewan-hewan jelmaan bambu itu terus dipelihara. Hewan-hewan itu ditampung dalam sebuah kebun binatang yang kemudian diberi nama “Sriwedari”. Artinya, “Sri” adalah tempat, sedangkan “Wedari” adalah “wedar sabdane Sayid Sulaiman”. Kebun binatang itu tetap terpelihara. Tak lama berselang, Sriwedari menjadi sebuah taman dan obyek wisata terkenal peninggalan Mataram. Namun pada tahun 1978, binatang-binatang di Sriwedari dipindah ke kebun binatang Satwataru.

Nyantri di Ampel

Setelah meninggalkan Solo, Mbah Sayid Sulaiman pergi dari Solo ke Surabaya. Untuk sampai ke Surabaya, beliau harus melalui hutan belantara. Tujuan beliau menuju ke Ampel, Surabaya, adalah untuk nyantri kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Kabar keberadaan Sayid Sulaiman akhirnya sampai ke telinga Raja Mataram. Ia mengirim utusan ke Surabaya untuk memanggilnya. Di antara utusan itu ada Sayid Abdurrahim, adik kandung Sayid Sulaiman sendiri. Sesampainya di Ampel, ia sangat terharu bertemu kembali dengan kakaknya tercinta. Dan akhirnya, ia memutuskan untuk tidak kembali lagi ke Mataram. Ia ingin belajar kepada Sunan Ampel bersama sang kakak.

Pada suatu malam, saat murid-murid Sunan Ampel sudah tertidur pulas, tiba-tiba terdapat dua kilatan sinar menerpa dua orang murid Sunan Ampel yang sedang tidur. Sinar itu berwarna kuning keemasan. Sunan Ampel yang saat itu sedang tidak tidur, menghampiri tempat jatuhnya sinar tadi. Karena keadaan yang gelap, beliau tidak dapat melihat dengan jelas wajah kedua santrinya yang diterpa sinar keemasan ini. Beliau memutuskan untuk mengikat sarung kedua santrinya itu. Usai salat Subuh, Sunan Ampel bertanya kepada para santrinya,
“Siapa yang sarungnya tadi malam terikat?”
Mbah Sayid Sulaiman dan Mbah Abdurrahim mengacungkan tangan. Lalu, Sunan Ampel berkata,
“Mulai sekarang, santriku jangan manggil Sulaiman, jangan manggil Abdurrahim tok, tapi panggillah Mas Sulaiman dan Mas Abdurrahim!”
Panggilan ini menjadi cikal-bakal sebutan “Mas” (semacam “Gus”) oleh santri untuk memanggil keturunan para Masyayikh.

Riwayat belajarnya Sayid Sulaiman kepada Sunan Ampel ini sebenarnya masih sangat disangsikan. Soalnya, terdapat selisih tahun yang terlalu jauh antara masa hidup Sayid Sulaiman dan Sunan Ampel. Sunan Ampel hidup pada 1401-1481 M (abad 14 M), sedangkan Sayid Sulaiman diperkirakan hidup pada abad 17 M, jadi selisih tiga abad (300 tahun) dengan Sunan Ampel. Kemungkinan besar, Sayid Sulaiman belajar di Ampel ini tidak pada Sunan Ampel sendiri, tetapi pada generasi-generasi penerus beliau. Kemungkinan juga cerita di atas terjadi ketika mereka nyantri kepada Habib Sholeh (Mbah Semendi).

Keramat di Pasuruan

Setelah nyantri di Ampel, kakak beradik ini pergi ke Pasuruan untuk nyantri pada Mbah Sholeh Semendi di Segoropuro. (Belakangan diketahui ternyata Mbah Sholeh adalah paman mereka sendiri, saudaranya ibu mereka, Syarifah Khodijah). Setibanya di Pasuruan, setelah mengungkapkan keinginan untuk menuntut ilmu, mereka diajak mandi di sungai Winongan oleh Mbah Sholeh Semendi. Ketika mereka sedang asyik mandi bersama, tiba-tiba Mbah Semendi hilang, tak lama kemudian, muncul lagi. Kejadian ini terulang sampai dua kali.

Mbah Sulaiman berfirasat bahwa Mbah Sholeh Semendi bermaksud mencoba kesaktiannya bersama adiknya berdua. Mereka berunding, jika nanti Mbah Sholeh sedang mandi, teklek (bakiak/sandal kayu zaman dahulu) miliknya dipegang bersama-sama agar Mbah Sholeh tidak bisa menghilang. Maka mereka memegang teklek Mbah Sholeh itu dengan mengerahkan segala kemampuan. Demikian pula Mbah Sholeh. Tapi Mbah Sholeh Semendi tidak bisa menghilang. Akhirnya ia tahu bahwa ia tidak bisa menghilang sebab tekleknya dipegang oleh Sayid Sulaiman dan Sayid Abdurrahim,
“Eh, eh, jangan begitu. Lepaskan sandal saya!” pinta Mbah Sholeh.
Setelah kejadian itu, Mbah Sholeh mengakui akan kesaktian dua bersaudara itu.

Banyak kisah-kisah luar biasa yang terjadi antara Sayid Sulaiman dan Mbah Sholeh. Di antaranya, pada suatu hari, Mbah Sholeh hendak bepergian. Sebelum pergi, beliau berpesan kepada semua santrinya agar halaman dibersihkan selama kepergiannya. Maka saat beliau berangkat pergi, semua santri Mbah Sholeh melaksanakan kerja bakti, Sayid Sulaiman dan Sayid Abdurrahim turut serta bersama mereka. Lagi-lagi Sayid Sulaiman membuat keajaiban. Ia mencabuti pohon-pohon besar hingga bersih total.

Setiba dari bepergiannya, Mbah Sholeh kaget melihat pohon-pohon besar yang dicabuti sampai bersih. Setelah tahu bahwa yang mencabuti adalah Sayid Sulaiman, Mbah Sholeh memerintahkan agar pohon-pohon itu dikembalikan seperti semula. Subhanallah, dengan izin Allah, pohon-pohon tersebut dapat dikembalikan lagi oleh Mbah Sayid. Sejak kejadian itu, berita tentang kesaktian Mbah Sayid Sulaiman tersiar dari mulut ke mulut di seluruh penjuru Pasuruan.

Setelah mondok di Mbah Sholeh, Sayid Sulaiman tinggal di Kanigoro, Pasuruan. Sehingga beliau mendapat julukan Pangeran Kanigoro. Saat itu, beliau sempat menjadi penasehat Untung Surapati. Untung Surapati adalah tokoh terkemuka Pasuruan. Ia tercatat sebagai pahlawan yang berjasa mengusir penjajah Belanda dari Nusantara di Pasuruan.

Berita tentang kesaktian Sayid Sulaiman juga terdengar oleh Raja Keraton Pasuruan. Raja Pasuruan ini tidak percaya tentang kesaktiannya. Ia sering kali melecehkan kesaktian Mbah Sayid. Sampai suatu ketika Putri Keraton yang sedang berjalan-jalan keliling kota hilang. Kusir dan kereta kuda yang dipakai oleh sang Putri juga ikut raib. Sang Raja menjadi sedih bermuram durja.

Diadakanlah sayembara: Bagi yang menemukan sang Putri, akan mendapat hadiah yang amat besar. Tapi malang, tidak ada satu orang pun yang berhasil menemukan sang Putri. Sang Putri seperti lenyap ditelan bumi. Hati Raja semakin bersedih dan putus asa.

Akhirnya, ia meminta bantuan kepada Sayid Sulaiman yang sebelumnya sering ia hina. Di hadapan Sang Raja, Mbah Sulaiman memasukkan tangannya ke dalam saku. Tak berapa lama kemudian, beliau melemparkan sesuatu dari dalam sakunya ke halaman. Luar biasa! Dengan izin Allah, sang Putri muncul bersama kereta dan kusirnya di halaman Keraton. Konon, ia dibawa lari jin ke alam gaib.

Melihat putrinya kembali, hati Raja berbunga-bunga. Ia gembira alang-kepalang dan meminta agar Sayid Sulaiman menikahi putrinya itu sebagai tanda ucapan terima kasih atas jasanya. Namun Mbah Sayid menolak. Beliau memilih kembali ke Kanigoro.

Tak lama kemudian, Sayid Sulaiman diambil menantu oleh gurunya yang notabene pamannya sendiri, Mbah Sholeh Semendi. Semula, beliau menolak, tetapi akhirnya beliau menerima permintaan gurunya itu. Beliau menikahi putri Mbah Sholeh yang kedua. Sedangkan adiknya, Mbah Abdurrahim, mempersunting putri Mbah Sholeh yang pertama, kakaknya istri Mbah Sulaiman. Mbah Abdurrahim tinggal di Segoropuro, Pasuruan, sampai meninggal dunia. Orang-orang mengenalnya dengan panggilan Mbah Arif Segoropuro. Sedangkan Mbah Abdul Karim, adik Sayid Sulaiman yang kedua, wafat di Surabaya dan dimakamkan di komplek pemakaman Sunan Ampel.

Selain beristri putri Mbah Sholeh, Sayid Sulaiman juga mempunyai istri dari Malang. Dari istrinya dari Malang ini beliau mempunyai putra bernama Hazam.

Kembali ke Cirebon

Setelah hari pernikahan, Mbah Sulaiman kembali ke Cirebon, Jawa Barat, tempat di mana ia lahir dan menghabiskan masa kanak-kanaknya bersama ayah dan ibu tercinta. Tapi pada saat itu, suasana di Banten dan Cirebon sedang ricuh disebabkan terjadinya pertikaian antara Sultan Agung Tirtayasa dengan putranya sendiri, Sultan Haji, yang terjadi berkisar pada tahun 1681-1683. Maka sejak tahun 1681, Sultan Agung Tirtayasa aktif melakukan penyerangan terhadap putranya ini. Pemicu pertikaian yang berlangsung sampai tiga tahun ini adalah pemihakan Sultan Haji pada Belanda.

Melihat hal ini, Mbah Sulaiman memutuskan untuk kembali lagi ke Pasuruan. Beliau kembali menetap di Kanigoro, sebuah dusun di desa Gambir Kuning. Di Gambir Kuning beliau mendirikan dua buah masjid unik. Bahan bangunannya seperti kayu usuk, belandar, ring, dan lain-lain hanya diambilkan dari kayu satu pohon terbesar di hutan Kejayan. Pohon besar itu adalah pemberian dari kepala hutan Kerajaan Untung Surapati Pasuruan. Karena ukuran pohon itu sangat besar, disediakanlah 40 ekor sapi untuk menariknya ke lokasi pembangunan masjid, tapi sapi-sapi itu tidak kuat membawanya. Tapi aneh, keesokan harinya kayu-kayu itu sudah ada di lokasi pembangunan. Konon, yang mengangkat kayu itu adalah Sayid Sulaiman sendiri.

Sampai sekarang masjid ini masih tetap ada. Namun, karena lokasinya yang sempit, masjid itu dipindah agak ke selatan oleh Syekh Rafi’i, cicit Mbah Sulaiman dari cucunya, Ummi Kultsum bin Hazam bin Sulaiman, pada bulan Rabiul Awal 1243 H, hampir dua abad yang lalu. Masjid dengan gaya arsitektur kuno itu, kini telah berusia lebih dari 400 tahun. Sampai kini, bahan-bahan masjid peninggalan Mbah Sulaiman itu masih asli, kecuali lantai dan tiang bagian dalam.

Pergi ke Keraton Mataram

Kabar kekeramatan Mbah Sayid di Pasuruan terdengar kembali ke Keraton Mataram (Solo). Raja Mataram mengutus salah seorang adipatinya untuk memanggil Mbah Sayid di Pasuruan. Setibanya di Pasuruan, adipati tersebut mengajak Mbah Sayid untuk memenuhi panggilan Raja. Mbah Sayid bermaksud memenuhi panggilan ini.

Bersama tiga orang santrinya, Mbah Djailani (Tulangan Sidoarjo), Ahmad Surahim bin Untung Surapati, dan Sayid Hazam, putranya sendiri, beliau berangkat ke Solo. Di Keraton, Raja Mataram mengumpulkan pembesar-pembesar kerajaan. Ia menyiapkan jamuan besar-besaran yang betul-betul mewah. Namun ada yang terasa janggal di hati Mbah Sayid. Ada tiga keris pusaka yang diletakkan di alas cowek yang ada sambalnya ketika mereka sedang makan bersama-sama.

Mbah Sulaiman heran melihat keris di depannya itu. Beliau berbisik kepada santrinya, “Nak, kalian lupa tidak memakan sayur kacang ini. Ayo dimakan, masing-masing satu!),” perintah Mbah Sulaiman.
“Oh, iya Mbah,” jawab mereka serempak.
Tiga buah keris itupun habis dimakan seperti halnya makan sayur kacang-kacangan. Semua yang hadir terhenyak.
“Kalau muridnya saja seperti ini, apalagi gurunya,” gumam mereka kagum.

Setelah acara makan-makan selesai, Raja Mataram Solo berembuk dengan pembesar-pembesarnya untuk mengangkat Mbah Sulaiman menjadi hakim. Namun saat kesepakatan ini disampaikan pada Sayid, beliau menolak, dengan alasan akan meminta pertimbangan dan restu kepada istri dan masyarakatnya yang ada di Pasuruan. Tentu saja, mereka yang di Pasuruan tidak menyetujui. Mereka tidak mau kehilangan tokoh yang disegani ini.



             Wafatnya Sayid Sulaiman

Setiba di Pasuruan, setelah dari Solo untuk mengabarkan penolakan rakyat Pasuruan pada sang Raja, Sayid Sulaiman pamit kepada istrinya yang sedang hamil tua untuk pergi ke Ampel, Surabaya. Lalu meneruskan perjalanannya ke Jombang. Namun di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Betek, Mojoagung, Jombang, beliau jatuh sakit, kemudian wafat dan dimakamkan di sana. Tidak diketahui dengan pasti tahun kewafatannya.

Istri Mbah Sulaiman yang sedang hamil tua itu terus menunggu kedatangan sang suami. Yang ditunggu-tunggu ternyata tidak kunjung datang. la memutuskan untuk mencari Mbah Sulaiman. Dari Pasuruan ke Sidoarjo, Surabaya, lalu ke Malang. Akhirnya ia melahirkan di Desa Mendit, dekat pemandian. Namun bayinya langsung meninggal dunia dan dimakamkan di Kampung Woksuru. Istri Mbah Sulaiman ini tetap tidak putus asa. la terus mencari Sayid ke arah selatan, menuju Desa Sawojajar, Malang bagian timur. Tapi malang tak dapat ditolak, ia meninggal dunia sesampainya di desa Grebek.

Menurut versi lain, ketika pergi ke Solo untuk memenuhi panggilan Raja, Mbah Sulaiman tidak sampai ke Solo. Beliau jatuh sakit di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Betek, Mojoagung. Selama masa sakitnya, beliau dirawat oleh seorang kiai bernama Mbah Alif, sampai beliau memenuhi panggilan Tuhan. Selama berada di Mojoagung dalam rawatan Mbah Alif, Mbah Sayid Sulaiman berdoa kepada Tuhan, Kalau pertemuannya dengan Raja Solo dianggap baik dan bermanfaat, maka beliau memohon agar dipertemukan. Tetapi jika tidak, maka beliau minta lebih baik wafat di tempat itu. Akhirnya, permintaan yang kedua dikabulkan oleh Allah. Beliau tidak sampai bertemu dengan Raja Mataram, dan wafat di Mojoagung.

Adipati yang disuruh menjemput Mbah Sayid, mengirim surat kepada Raja Solo, bahwa dirinya tidak akan kembali ke Solo dan memilih menetap di Mojoagung untuk menjaga makam Mbah Sayid. Sang adipati tetap tinggal di Mojoagung hingga meninggal dunia dan dimakamkan di sana pula.

Turunkan Pewaris Perjuangannya

Hasil jerih payah Mbah Sayid dalam segala usahanya membawa berkah amat besar bagi kehidupan beragama kaum muslimin sampai sekarang. Perjuangannya mendirikan pesantren, melawan dan bergelut dengan tantangan, telah menorehkan napak tilas terciptanya apa yang kini kerap disebut dengan kentalnya moralitas agamis dan budaya pesantren. Beliau berjasa mendirikan Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, juga menurunkan pewaris-pewaris perjuangannya. Para pewaris perjuangannya termasuk para ulama pemangku pesantren-pesantren besar, mulai dari Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pondok Pesantren Sidoresmo dan Pondok Pesantren Al-Muhibbin Surabaya, sampai Pondok Pesantren Syaikhuna Kholil Bangkalan.

Dari istri pertamanya di Krapyak Pekalongan, Sayid Sulaiman dikaruniai empat orang putra. Yaitu Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir (makamnya ada di Geluran,Sepanjang, Sidoarjo), dan Ali Akbar. Keturunan Sayid Sulaiman dari jalur Abdul Wahhab, banyak yang tinggal di Magelang dan Pekalongan. Sedangkan keturunan beliau dari jalur Muhammad Baqir berada di Krapyak Pekalongan. Abdul Wahhab dikenal sebagai pejuang yang gigih melawan penjajah Portugis dan Belanda. Begitu pula Hasan. Sayid yang masyhur dengan sebutan “Pangeran Agung” ini juga sosok pejuang pembebasan tanah Jawa dari cengkeraman Kompeni Belanda.

Melalui jalur Sayid Ali Akbar, banyak terlahir ulama-ulama pemangku pesantren di Jawa Timur. Sebut saja, Sidogiri, Demangan Bangkalan, dan Sidoresmo Surabaya. Sampai kini, makam Sayid Ali Akbar tidak diketahui. Konon, karena kegigihannya menentang penjajah, ia selalu diburu oleh Kompeni Belanda. Suatu ketika, Belanda berhasil menangkap Ali Akbar dan akan dibuang ke Belanda dengan menggunakan kapal. Tapi di tengah pelayaran Sayid Ali Akbar hilang. Anehnya, ia muncul lagi di Sidoresmo. Untuk kedua kalinya beliau ditangkap tentara Kompeni dan dibawa ke Belanda. Tapi seperti semula, beliau menghilang di tengah pelayaran dan kembali ke Sidoresmo. Kemudian, untuk ketiga kalinya beliau ditangkap dan dibawa ke Belanda. Tidak seperti penangkapan sebelumnya, Ali Akbar tidak kembali ke Sidoresmo. Ia terus menghilang. Konon, beliau lari ke Tarim, Hadramaut, kampung para wali di mana kakeknya, Abdurrahman Basyaiban, dilahirkan.

Sayid Ali Akbar meninggalkan enam putra yang kelak menjadi penerus jejak kakeknya, Mbah Sayid Sulaiman. Mereka adalah:
1. Sayid Imam Ghazali (makamnya di Tawunan Pasuruan)
2. Sayid Ibrahim (makamnya di Kota Pasuruan)
3. Sayid Badruddin (makamnya di sebelah Tugu Pahlawan Surabaya)
4. Sayid Iskandar (makamnya di Bungkul Surabaya)
5. Sayid Abdullah (makamnya di Bangkalan Madura) dan
6. Sayid Ali Ashghar (makamnya di Sidoresmo).
(belakangan diketahui, bahwa menurut catatan nasab keluarga Sidogiri dan Bangkalan, Sayid Abdullah adalah putra Sayid Sulaiman, bukan cucu Sayid Sulaiman dari Sayid Ali Akbar).

Dari Sayid Abdullah, terlahir pewaris-pewaris perjuangan Sayid Sulaiman yang memangku pesantren seperti Sidogiri dan Demangan Bangkalan, yang masing-masing telah memiliki ribuan santri.
Sedangkan keturunan Mbah Sayid Sulaiman dari Ali Ashghar di Surabaya telah ‘menguasai’ dua desa, Sidoresmo dan Sidosermo. Sekarang, di dua desa ini terdapat sekitar 28 pondok pesantren. Semuanya diasuh oleh keturunan Sayid Sulaiman.
Sayid Ali Ashghar juga menurunkan ulama-ulama pemangku pesantren di Tambak Yosowilangon, Surabaya.

Sedangkan dari istrinya yang kedua, putri Mbah Sholeh Semendi, Sayid Sulaiman mempunyai beberapa putra. Di antaranya kiai Ahmad, Lebak, Winongan, Pasuruan. Dari istrinya yang ketiga di Malang, beliau mempunyai putra Sayid Hazam. Tetapi menurut riwayat lain, Hazam adalah putra Mbah Sulaiman dari istri yang kedua, putri Mbah Sholeh Semendi.

Pembabat Sidogiri

Konon, Mbah Sayid Sulaiman membabat Sidogiri atas titah dari Sunan Giri. Beliau harus berjuang habis-habisan untuk membabat Sidogiri. Tidak sekadar bekerja keras menebang pohon-pohon Sidogiri yang masih berwujud rimba, tapi juga harus bertarung melawan bangsa Jin, sebab Sidogiri yang saat itu masih sangat angker dan menyeramkan, menjadi sarang makhluk halus dan markas para dedemit (jin). Sayang, beliau keburu mangkat saat melakukan perjalanan ke Jombang, sebelum perjuangannya yang penuh pengorbanan ini berhasil dengan sempurna. Setelah wafatnya Sayid Sulaiman, tidak ditemukan data yang kuat mengenai pelanjut perjuangan beliau dalam mambabat Sidogiri. Jejak sejarahnya hilang dan baru tercatat sejak periode Kiai Aminullah.

Ada dua versi mengenai tahun berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri. Dalam satu versi, Sidogiri didirikan pada tahun 1745. Dalam catatan lain Pondok Pesantren Sidogiri berdiri pada tahun 1712. Tahun 1712 adalah tahun paling dekat dengan masa hidup Sayid Sulaiman. Sebab seperti disebutkan sebelumnya, beliau membabat Sidogiri pada usia senjanya. Belum sempurna pembabatan Sidogiri, Sayid Sulaiman keburu meninggal.

Sedang beliau hidup pada masa Untung Surapati yang meninggal tahun 1705. Sedangkan tahun 1745 diperkirakan masa hidup Kiai Aminullah. Jadi, kemungkinan besar, usia Pondok Pesantren Sidogiri 268 tahun pada tahun ini (2013) adalah terhitung sejak periode Kiai Aminullah ini.

Kiai Aminullah adalah seorang santri yang berasal dari Bawean. Menurut satu riwayat, beliau menikah dengan Nyai Masturah binti Rofi’i bin Umi Kultsum binti Hazam bin Sayid Sulaiman. Bersama Nyai Masturah, Kiai Aminullah menetap di Sidogiri.

Namun menurut riwayat yang masyhur di kalangan keluarga Sidogiri berdasarkan catatan silsilah, Kiai Aminullah menikah dengan Nyai Indah binti Sayid Sulaiman. Menurut riwayat ini, Kiai Aminullah adalah menantu langsung Sayid Sulaiman.

Kiai Aminullah sendiri adalah figur abid (ahli ibadah) yang senang berkhidmah. Bahkan, sehabis salat Tahajud, beliau istiqamah mengisi jeding masjid-masjid di sekitar Sidogiri. Hal ini terus beliau lakukan sampai empat tahun.